Gus Fayyadl Serta Ide Dan Prilakunya.

"Kita harus secepatnya ke Mas Fayyad", tegas bung Arif pada tandas hari Ahad, 10 September 2023 saat berada di RH (rumah hijau), Basecamp kami, perbincangan dimulai sepertiga malam pertama hingga hampir sepertiga malam kedua. Pembahasan awal adalah mengenai evaluasi kerja-kerja organisasi serta perbaikan struktur dan penambahan anggota dalam struktur. Kemudian pembahasan berlanjut ke acara inti, Maulid Bumi.

Berdasarkan apa yang saya dapat setelah membaca keadaan, beberapa waktu yang lalu bung Iqbal serta  bung Dendi sowan ke ndalem Gus Fayyadl, salah satu pengasuh Pondok pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Singkat cerita, beliau ingin jika bulan Oktober yang bertepatan dengan bulan Maulid Nabi, FNKSDA Jember mengadakan acara dengan istilah "Maulid Bumi".

Senin malam pun kami berangkat. Berkumpul di kedai For Rest depan kampus Kiai Haji Achmad Siddiq, enam orang, tiga sepeda telah bersiap. Inisial: I, E, A, N, F, Z. Memberangkatkan diri pada pukul 22:30. Rute yang ditempuh adalah Kaliwates, Jember - Bondowoso - Situbondo - Paiton, Probolinggo. 

Jam 23:35 kita sampai daerah Wringin, menuju Arak-arak. Mas Iqbal yang berada dibagian paling depan tiba-tiba menepi, berhenti di bahu jalan. "Sek, bentar ya", ucapnya. Ia pun memutar balik sepeda dan menghilang. Bagi saya hampir bisa dihafal kelakuan orang satu ini, sering nyeleneh tapi menyenangkan. Benar saja, pulang-pulang sekantong kresek berisi Tahu Goreng ia bawa lengkap dengan Sambal Petisnya. "Nanti kita makan di atas" ucapnya. Perjalanan dilanjutkan.

Tak begitu jauh, kita sampai di Panorama Wisata Arak-Arak. Angin kencang seakan menyambut kedatangan. Tak lama kita istirahat dan makan Tahu Goreng Sambal Petis. "Jangan dibuang nanti botol minumnya" tutur cak Iqbal. Benar saja, setelah melanjutkan perjalanan, tak jauh kita berhenti lagi di salah satu sumber mata air di jalanan arah turun bertuliskan "Welcome to Bondowoso" di sebelah kanan jalan.

Jalan Daendels atau Pantura yang memiliki sejarah panjang di zaman penjajahan Belanda kami mulai lalui ketika hari baru saja berganti. Jalan yang memakan banyak korban kerja paksa saat pembangunannya itu ramai dengan truk-truk besar. Aspalnya banyak lubang dan tembelan-tembelan. Di sekitar Besuki banyak terlihat warung di kiri-kanan jalan. Meski sudah larut malam, suasana jalan ini seakan tak pernah sepi.

Setelah meninggalkan kabupaten Situbondo kami memasuki kabupaten Probolinggo disapa dengan megahnya PLTU Paiton. Lampu-lampu kuning, corong-corong menjulang tinggi, serta asap yang kemebul lari ke udara kadang kala menjadi hal yang dipuji di sosial media, namun dikritik bagi mereka yang paham hingga mendalam. Efek buruk batu bara, analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) kadang yang menjadi objek. Namun, kabarnya PLTU Paiton, Langkat, dan Cilacap akan tutup dini digantikan enegi terbarukan. Hal itu kabarnya juga akan berdampak negatif pada sosial ekonomi masyarakat sekitar, terutama masyarakat sekitar PLTU, Wallahu A'lam.

00:40 Mas Iqbal mengajak mampir makan di salah satu warung pecel dekat rumahnya. Pecel 99 namanya. Selain itu, tertulis nama Bu Mul  dan pak Joyo juga foto Bu Mul disampingnya. Warung ini bukanya waktu malam, kira-kira diatas jam 7 malam. Sampel pecelnya tidak pedas, lebih ke manis dengan porsi nasi sedang, lauk default satu tempe dan tiga kerupuk. Di atas meja makan agak panjang sudah siap beberapa piring berisi cabai dan telur asin. Kami ditemani dengan lagu-lagu lawas dalam layar TV Lawas menghadap ke barat.

Pukul 01:00 kami berangkat lagi. Tak sampai lima menit sudah tiba di Madani Gorden Pondok Kelor. Gang ke 4 belok kiri itulah rumah tujuan kami. Terlihat hijaunya  Begitu masuk ke dalam rumah lalu menengok ke kiri, terlihat beberapa foto para tokoh terpampang diatas kasur kamar. Terlihat diantaranya: Wiji Thukul, Karl Marx, Che Guevara, Lenin, Tan Malaka, dan beberapa foto pribadi mas Iqbal sendiri. Di pojok kiri atas terdapat rak buku dengan beberapa buku, Risalah Cinta Kajian Fiqh Munakahat, Gagasan Tentang Manusia, Buka Pintu Kiri, Studi Agraria Menurut Gunawan Wiradi, Post-Tradisionalisme Islam, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Kifayatul Akhyar, dan lain sebagainya. Di pojok bawah kamar terdapat papan tulis kecil bekas tulisan yang membahas mengenai Stoikisme, sebuah aliran dalam filsafat yang nilainya kapan hari banyak diperbincangkan. Kami menginap di sini, untuk besok pagi-pagi berangkat ke ndalem Gus Fayyadl di Nurul Jadid.

Paginya, jam 8 lebih kami berangkat menuju ndalem Gus Fayyadl Nurul Jadid, tak begitu jauh, hanya sekitar 1,6 Km. Ini adalah kali pertama bagi saya, Zaki dan Emil, ke dua bagi mas Fahmi dan Arif, ke empat bagi mas Iqbal. Sesampai di tempat, ternyata beliau masih belum bisa ditemui. Salah satu abdi ndalem mengabarkan bahwa beliau bisa ditemui nanti sore. Kami pun beranjak, nanti sore kembali.

Sesampai di rumah, mas Iqbal mengajak jalan-jalan bermodus menjemput nasi. Ternyata dia sudah memesannya sejak tadi. Kami tinggal mengambilnya saja. Mas Iqbal juga membeli es batu untuk membuat es teh karena hawa panas Paiton yang dirasakan. Bagiku panasnya melebihi panas kota Jember.

Sorenya kami kembali, setelah Ashar. Setelah menunggu tidak terlalu lama, beliau Gus Fayyadl terlihat akan masuk ke dalam kelas. Dengan isyarat beliau mempersilahkan kami duduk di ruang tamu yang berada di teras rumah, juga meminta untuk menunggu dengan isyarat kedua telapak tangan saling menyatu. Kamipun duduk. Terlihat di ruang tamu beberapa pajangan. Di bagian paling atas terdapat kaligrafi bertuliskan

سم الله الرحمن الرحيم

انني أنا الله لااله الا أنا فاعبدني و اقم الصلاة لذكرى

Dibawahnya terdapat tulisan مدرسة العشاق , lalu dibawanya berisi Sanad Keilmuan Ulama Salaf, mulai dari Rosulullah. disebelah kanan terdapat lukisan (mungkin kedua orang tua Gus Fayyadl) dan disebelah kanannya terdapat jam dinding. Sebagai kecil hal unik yang saya lihat adalah tulisan أحد menjorok ke dalam di tengah pintu, serta plakat bertuliskan "Eatoren Silahkan Dinikmati" di atas lantai di samping jajan-jajan serta asbak.

Beberapa waktu kemudian setelah sekitar 30 menitan, pria lulusan universitas Sorbonne, Prancis serta pengarang buku Filsafat Negasi itupun datang, menemui kami. Kemudian datang lima orang santri kelompok diskusi serta dua orang dengan keperluan meminta foto (tugas) , beberapa orang lainnya dari pengurus Pondok Pesantren bidang Ubudiyyah (peribadatan).

Pembahasan dimulai dengan agenda Maulid Bumi. Kedatangan kami untuk menauqidi (menguatkan), karena beberapa waktu yang lalu Bung Iqbal dan Bung Dendi sudah dari sini. Gus fayyadl , "Jangan ada narasi melawan negara, masalah kita besar, kita butuh banyak dukungan. Kita, kan niat mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapat. Niat kita Maulidan (Maulid Bumi) acara yang lain itu "numpang", nanti bisa saling sharing dengan warga tapak. Hari ini ramai isu prihal Batam, saya banyak yang minta ikut ngomong, tapi saya ndak mau karena tidak faham betul masalahnya. Nanti malah bisa buat keruh keadaan". Setelah berbincang dengan kami, beliau izin untuk melakukan diskusi bersama para santri. Kamipun secara tidak langsung ikut terlibat dalam diskusi itu.

"Ayo, siapa yang mau presentasi" ucap beliau. Salah seorang santri pun mengutarakan argumentasi dari berbagai referensi mengenai topik "pak Kuntowijoyo", Pelopor Ilmu Sosial Profetik. Kemudian diskusi pun terjadi. Di tengah diskusi Gus Fayyadl menyampaikan "Ada yang mengatakan bahwa harus ada teori untuk suatu perubahan. Padahal perubahan tidak (harus) menunggu teori baru. Teori tidak pasti menciptakan perubahan, teori hanya ilustrasi dari realitas. Saya belajar di Prancis menemukan satu hal, 'ilmuan bukan segala-galanya'. Ada seorang tokoh yang mengatakan bahwa 'guru yang baik adalah yang bodoh'. Jangan sok mengatur masyarakat. Ilmiah harus sadar bahwa ada gap (kesenjangan) antara teori dan praktik. Dalam perubahan ada agency ketuhanan, dan itu lebih dominan."

Beberapa waktu kemudian. Adzan Magrib berkumandang, kamipun berpamitan untuk pulang. Kami berpencar, aku dan Zaki menyempatkan diri ke Maqbarah (makam) para Masyayikh (Kyai-kyai) Pondok Pesantren Nurul Jadid, teman yang lain langsung pulang. Di jalan menuju Maqbarah saya melihat Gus Fayyadl menjadi makmum masbuk (menyusul) berjamaah di barisan paling belakang. Seperti dalam perbincangan kami tadi beberapa kali beliau meminta maaf (atas segala kekeliruan). Begitulah beliau, tinggi ilmu serta tawaduk (rendah hati) nya.


Posting Komentar

0 Komentar