Joki Skripsi adalah hal yang sangat lumrah
di telinga para mahasiswa, dosen, satpam, OB, hingga bu kantin kampus. Eh,
Itu di kampus umum kan, bagaimana dengan kampus agama?, jawabannya adalah tidak, tidak ada bedanya.
Joki Skripsi mulai ramai terdengar di kampus saya, UIN (Universitas
Insyaallah Negeri). Aslinya hal itu sudah ada sejak lama, mungkin sangat lama,
saya saja yang terlalu apatis. Namun, akhir-akhir ini keberadaan mereka semakin
ketara, merajalela, tak satir, dan seakan tak menjadi aib lagi. Hingga, saya
sendiri ditawari juga untuk jadi penjoki.
Sebenarnya saya agak heran sama para penjoki yang notabene adalah para
akademisi yang kemampuannya diatas rata-rata. Kebanyakan mereka adalah
mahasiswa yang vokal dan kritis. Apakah desakan ekonomi yang membuat mereka
rela menggunakan kemampuannya itu untuk hal yang melanggar hukum agama dan
negara?.
Yang membuat saya semakin heran adalah ada sebagian dari para penjoki yang dengan insaf dan sadar bangga akan apa yang mereka kerjakan. hal itu dibuktikan dengan seringnya upload tertimoni di sosial media, lah, buat baju dan stiker dengan nama jasa jokinya, hingga flexing hasil dari jasa jokinya, lah dalah, joki yo joki, ndak usah pamer pisan po'o cik!. Sebenarnya saya bisa agak mentolerir perilaku joki Skripsi dengan syarat jika pengguna jasa dan penjoki dalam keadaan yang sangat darurat, "akan mati bila tak melakukan prilaku joki Skripsi." misalnya.
Pertanyaannya lagi adalah, apakah ada
hukum positif dan hukum agama yang menghalalkan, hingga mereka dengan PD
dan santainya menikmati pekerjaan itu?. Padahal, mereka bisa dituntut ke pengadilan
hingga dicabut gelar yang telah diperolehnya.
Kini para penjoki Skripsi tidak hanya bermain di wilayah pengerjaan Skripsi saja. Namun, usaha jasa mereka berkembang ke berbagai cabang. Sebagai
contoh seperti joki Jurnal,
joki makalah, joki tugas, parafrase, joki pelaksanaan penelitian, joki absensi
kuliah dan lain sebagainya. Yang bikin heran lagi adalah konsumen dari jasa
joki tidak hanya dari kalangan mahasiswa, namun juga dosen dan petinggi kampus.
Bahkan, sebagian mereka tidak melarang dan menghukum mahasiswa yang jelas-jelas
menggunakan jasa dan menjadi pelaku joki. Entah bagaimana, apakah hanya karena
alasan akreditasi mereka mengabaikan fenomena itu?.
Tak hanya sekali, saya, yang sebenarnya tidak lihai dalam masalah
kepenulisan ilmiah, berusaha diseret ke dalam lingkaran perjokian. Iming-iming
manis yang mereka berikan seperti "jadi mahasiswa harus mandiri, punya
uang sendiri. Sini, jadi penjoki Skripsi biar mandiri." Kalimat pertama
saya setuju. Sebagai mahasiswa yang baik memang seharusnya bisa mandiri, punya
uang sendiri. Namun, ya tak perlu sampai jadi joki Skripsilah. Masa tidak ada
pilihan lain sih?. Selain itu, tawaran dan permintaan dari customer, mahasiswa
yang membutuhkan jasa joki Skripsi juga pernah saya temui. Ia yang sudah sibuk
kerja dan berkeluarga, merasa tak punya daya dan upaya lagi untuk menggarap Skripsi. Saya hanya jawab begini, "aku kalau joki belum mau, kalau diskusi
masalah Skripsi monggo, kamu tetap yang mengerjakan, kita saling tukar fikiran.
Lagian, kamu ini bagaimana, masa mau joki ke orang yang Skripsinya belum
rampung?." Memang Skripsi saya yang wajib menggunakan bahasa asing itu belum
rampung, sedang dalam proses akhir pengerjaan, haha.
Masalahnya begini loh. Kitakan sama tahu kalau di draf skripsi itu ada surat "pernyataan keaslian" yang dibubuhi materai. Masa mau diingkari, ndak bahaya ta?. Apakah Anda juga tidak kasihan pada teman-teman yang mengerjakan dengan serius hingga lupa nikah dan mereka yang hanya makan tempe, kecap dan nasi saja setiap hari untuk mengganti biaya administrasi nge-print dan beli buku?. Belum lagi mereka yang sering di ghosting dosen pembimbing dengan alasan yang full mekanik; keluar kota, saudara sakit, Yudisium, dll. Anda, malah dengan bangganya bercerita di depan mereka bahwa Skripsimu adalah hasil joki. Apalagi ditambah bumbu sok Mario Teguh, "skripsi yang baik adalah yang selesai." Lengkap sudah penderitaan teman-teman Anda. Benarlah sudah si abang lu punya duit, lu punya kuasa.
Kalau jasa joki Skripsi di Indonesia terus ada, konkret saja Tridharma
perguruan tinggi yang berisi pendidikan dan pengajaran; penelitian dan
pengembangan; dan pengabdian kepada masyarakat hanyalah omong kosong. Apalagi
kampusnya kampus agama, Islam lagi. Ijazah yang didapat setelah kuliah
bertahun-tahun hanyalah simbol bahwa seseorang pernah kuliah, bukan simbol
bahwa seseorang pernah belajar, riset, dan melakukan pengabdian (dengan jujur).
Kalau dari hal kecil saja seperti tugas kuliah mahasiswa menggunakan jasa joki,
bagaimana dengan hal-hal yang lebih besar?. Mental konsumtif, praktis dengan
joki adalah budaya yang harus ditinggalkan. Pantas saja jika Guru Gembul bilang bahwa
yang mengajari Belanda korupsi adalah para pribumi. Ayolah kawan, jadikan itu
pelajaran. Mari kita rubah, minimal dari diri kita sendiri.
0 Komentar